Cabang Semiotika Menurut Charles Morris
Sementara itu Charles Morris seorang filsuf yang ikut serta dalam ilmu tentang tanda-tanda membedakan semiotika dalam tiga cabang penelitian, yakitu: sintaksis, semantik dan pragmatik
- Sintaksis/syntax atau sintaktik/syntactics adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan turunan dan interpretasi.
- Semantik (semantics) adalah penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan designate atau objek-objek yang diacunya. Designata bagi Morris adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
- Pragmatik/pragmatics adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
Norman Bryson, seorang semiotik strukturalis mengembangkan semiotika visual yang didalamnya terdapat perbedaan antara kata dan gambar. Sebagian besar karya seni rupa memiliki gambar dibandingkan teks, tetapi bisa saja memiliki keduanya. Maka kebiasaan menghubungkan teks dan gambar dengan arti lain adalah membaca teks yang mempengaruhi pemahaman kita tentang gambar, sehingga makna kata dan makna gambar saling memotong. Meskipun begitu, perlawanan dua kata ini bukanlah satu-satunya yang dapat digunakan.
Bryson sendiri menggunakan perlawanan dua kata ini untuk mencermati lukisan. Ia mengatakan bahwa lukisan adalah sebuah karya seni rupa yang tidak hanya terbuat dari pigmen-pigmen cat di atas permukaan, tetapi terbentuk juga oleh tanda-tanda dalam ruang semantik. Makna sebuah gambar tidak pernah terwujud pada permukaan berupa sapuan-sapuan kuas; lebih jauh dia mengatakan makna akan muncul lewat kolaborasi antara tanda-tanda (visual dan verbal) dan para penafsirnya. Perlawanan dua kata ini juga dapat digunakan untuk membahas karya-karya zaman sekarang (Sumartono, 2003: 7).
Tujuan Semiotika
Karya seni adalah produk yang berkomunikasi melalui tanda-tanda yang secara otomatis memiliki berbagai arti untuk penyerap tandanya. Makna dan interpretasi/tafsiran yang dihasilkan oleh tanda tersebut dapat berubah sesuai dengan konteks sosial dan waktu/zaman pada saat tanda itu ditafsirkan oleh seseorang. Malah bisa jadi tanda tersebut tidak berarti apa-apa untuk pemirsanya. Karya seni adalah produk yang terbuka, setiap orang berhak memahami dengan keputusannya sendiri. Disini dapat dirumuskan bahwa terdapat masalah yang muncul ketika kita mempelajari suatu karya seni. Bagaimana caranya kita dapat memastikan bahwa apa yang disampaikan oleh karya tersebut sudah sesuai/akurat?
Seperti yang dijelaskan oleh Karen Hamblen yang dikutip oleh Albert Camus, keyakinan akan adanya kemungkinan komunikasi universal melalui seni telah menghasilkan berbagai kesulitan. Kehidupan postmodern tidak percaya seseorang dapat mengkonsumsi suatu karya tanpa memahami terlebih dahulu konteks dari karya tersebut berasal dan kapan dibuat. Kritikus postmodern juga meyakini bahwa kita tidak dapat memahami karya seni suatu masyarakat, jika tidak memiliki informasi antropologis tentang karya tersebut.
Disinilah peran semiotika sangat penting untuk digunakan agar berbagai tanda tersebut dapat dipecahkan dengan baik. Melalui pendekatan semiotik kita dapat menelaah lebih detail tentang komunikasi yang disampaikan oleh karya seni. Melalui semiotika kita dapat mengkaji tanda, ‘kendaraan’ yang ditumpangi oleh tanda dan makna dari tanda itu sendiri dalam konteks sosio-kultural masyarakat dimana ia dihasilkan. Dengan catatan bukan berarti dapat menggantikan kajian interdisiplin seni dengan bidang studi lain, tapi melengkapi.
Pendekatan Semiotika dalam Analisis Seni Rupa
Perkembangan postmodernisme menuntut pengkajian tentang artikulasi makna dan ideologi di dalam karya-karya seni harus dirumuskan kembali. Pencarian makna dalam kebudayaan postmodern pada kenyataanya tidak hanya menghadapkan para pemikir kepada masalah metodologis, tapi juga epistemologis. Pada tingkat epistemologis muncul sebuah kegundahan tentang teori estetika atau semiotika yang mampu menjelaskan cakupan, metode dan keabsahan pengetahuan yang digunakan dalam praktik postmodernisme sebagai landasan atau model dalam penciptaan dan penafsiran karya. Pada tingkat metodologis ini muncul tuduhan-tuduhan akan praktik seni postmodern yang dianggap irasional, antimetodologi dan antiestetika, namun ironisnya justru semua nilai-nilai rasional, metodologis dan estetika inilah yang ingin didekonstruksi dan dievaluasi oleh postmodernisme (Piliang, 2003: 170). Lalu ditengah kegundahan, keraguan dan ironi tersebut bagaimankah semiotika memahami objek-objek kebudayaan postmodern dalam karya seni rupa?