Menginspirasi Al-Azhar Kala itu, mendirikan dan mempertahankan sebuah sekolah bukan perkara mudah bagi Rahmah. Terlebih ketika kota Padang Panjang dihantam gempa pada 28 Juni 1926, dan kematian abangnya dua tahun sebelumnya.
Ia ke sana kemari mencari uang untuk membangun lagi sekolahnya, sebab gempa telah meruntuhkan gedung-gedung asrama. Menurut catatan Hamka, Rahmah sampai berangkat ke Malaysia menemui sultán-sultan Melayu untuk meminta bantuan. Hamka juga menuliskan tentang betapa Rahmah tampak tak punya tujuan hidup lain selain membesarkan Sekolah Diniyyah.
“Setelah bercerai dengan suaminya yang dibuang ke Digul, dia tidak bersuami lagi. Suaminya atau anaknya adalah sekolahnya itu,” tulis Hamka. Pada 1928, Diniyah Putri memiliki 200 murid, lalu bertambah menjadi dua kali lipat pada 1935. Tahun 1955, para petinggi Universitas Al-Azhar, Mesir, datang ke Padang dan menyempatkan berkunjung ke Sekolah Diniyyah Putri milik Rahmah. Mereka terkagum-kagum melihat ide dan upaya yang dilakukannya.
Para petinggi universitas tersebut mengakui bahwa Al-Azhar dan Mesir pada umumnya, masih tertinggal jauh dari sekolah yang digagas oleh Rahmah. Dua tahun kemudian, Rahmah diundang ke Mesir. Ia mendapat gelar kehormatan “Syehkhah” dan menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar itu dari Al-Azhar.
Kedatangan Rahmah dan cerita soal Sekolah Diniyyah menginspirasi Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat—fakultas khusus untuk perempuan yang direalisasikan pada 1962.