Penemu Kompor Rumah Tangga Ramah Lingkungan

Penemu Kompor Rumah Tangga Ramah Lingkungan – Staf pengajar Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa Timur, itu bukan dosen biasa. Sudah delapan inovasi teknologi didaftarkan Muhammad Nurhuda ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Yang terbaru ialah kompor biomass dengan gasifikasi terpanaskan dan pembakaran turbu-len (UB-03). Kompor biomass ini menggunakan sistem gasifikasi terpanaskan dan pembakaran asap secara turbulen untuk menghasilkan pembakaran yang lebih bagus dan asap yang minimal.

Adapun karya Nurhuda yang hingga kini belum disambut baik oleh pemerintah adalah mengubah gunung, bukit baru, atau cadas menjadi stasiun pembangkit listrik multimega-vvatt. Penelitian tersebut, bila diterapkan, bisa menjadi solusi di tengah krisis listrik dan kenaikan tarif dasar listrik.

“Bila gunung berbatu cadas dan gersang di Indonesia dimanfaatkan menjadi stasiun pembangkit listrik, akan ada banyak listrik yang dihasilkan sehingga tidak akan terjadi krisis listrik, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini,” kata Nurhuda ketika ditemui di rumahnya, di Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (10/7). Nurhuda mengacu pada daerah selatan Pulau Jawa (Gunung Kidul), wilayah gersang bergunung-gunung dengan intensitas sinar matahari tinggi.

Demikian pula dengan pegunungan kapur di bagian utara Pulau Jawa, seperti pegunungan sekitar Porong, Probolinggo, Tuban, Bojonegoro, dan Jepara. Obsesi gunung gersang Ide dasar memanfaatkan pegunungan gersang sebagai penghasil listrik berangkat dari sifat alami udara yang jika dipanaskan akan bergerak vertikal. Dengan kaca transparan yang dipasang miring, arah gerak itu akan membelok dan menghasilkan sedikit turbulensi. Kemudian, setelah melalui sejumlah proses, akan terjadi akumulasi gerak udara yang menimbulkan tenaga besar untuk menggerakkan turbin.

Nurhuda memberi gambaran, misalkan wilayah perbukitan itu mempunyai bentuk lingkaran dengan diameter 1 kilometer. Total wilayah dengan memperhitungkan faktor kemiringan adalah 80-120 hektare. Cross effective area yang digunakan untuk menyerap energi radiasi matahari adalah irisan datar dari wilayah perbukitan tersebut, sekitar 50 hektare. “Dengan asumsi radiasi matahari rata-rata sepanjang tahun adalah 800 w per meter persegi dan efisiensi rata-rata 7%, daya listrik yang dihasilkan sepanjang tahun adalah 40 Mw. Daya keluaran yang dihasilkan itu sama dengan listrik pada PLTA berukuran sedang,” ujar suami Nurul Sulistiyati itu.

Mitos kaya minyak

Memang, sejak 2004 Nurhuda memang berkutat pada inovasi energi terbarukan. Semua itu demi menghindarkan manusia dari krisis energi. Lelaki 46 tahun itu berpendapat Indonesia dikenal sangat boros dalam penggunaan energi. Bahkan telanjur berkembang anggapan sebagai negara penghasil minyak sehingga masyarakat menuntut minyak dengan harga murah. “Kenyataannya, berpuluh tahun rakyat hidup dengan subsidi. Tanpa menyadari hal itu justru membebani keuangan negara. Terlebih lagi Indonesia telah menjadi net-importir country sejak 2000. Bahan bakar minyak semakin menipis, sedangkan jumlah pengguna terus bertambah seiring denganbertambahnya penduduk,” kata Nurhuda.

Sejak Mei 2008, Indonesia bukan lagi anggota Organization of fhe Petroleum Exporting Countries (OPEC) sebab produksi minyak Indonesia berada di bawah kuota yang ditetapkan sebagai negara pengekspor. Rupanya, masyarakat Indonesia masih terlena dengan kekayaan masa lalu. “Mitos sebagai negara penghasil minyak ini sangat menyesatkan dan cenderung menjerumuskan,” tegasnya.

Dengan gamblang, dosen yang memiliki keahlian di bidang energi baru terbarukan seperti energi matahari dan bahan bakar bio itu menjelaskan penggunanaan bahan bakar fosil setidaknya akan menimbulkan tiga masalah mendasar.Tiga hal itu keberlangsungan pasokan, konflik horizontal karena perebutan sumber energi, dan bahaya lingkungan. Nurhuda menyebutkan ketegangan di Timur Tengah dan Afrika Barat sebagai contoh. Al-jazair dan Nigeria terjebak konflik internal selama beberapa dekade karena penguasa di negara itu menggunakan sumber minyak dalam melanggengkan kekuasaan. Booming minyak pada dekade 1970-an memang memberikan kemakmuran. Tetapi, ironisnya setelah 30 tahun kemudian justru rakyat dari setengah anggota OPEC itu jauh lebih miskin.

Produksi minyak tertinggi Indonesia, kata Nurhuda, terjadi pada 1977. Rata-rata produksi mencapai 1.685 ribu barel/hari. Setelah itu produksi minyak Indonesia tidak pernah lagi mencapai angka tersebut. Bahkan pada 2004, produksi minyak Indonesia hanyalah sebesar 1.126 ribu barel/hari, di bawah konsumsi BBM Indonesia yang jumlahnya sebesar 1.150 ribu barel/hari. Angka konsumsi BBM pada 2006 bahkan telah mencapai 60 juta kiloliter, atau ekuivalen dengan sekitar 1 juta barel sehari.

Menurut Nurhuda, kecenderungan kenaikan konsumsi BBM itu antara lain disebabkan peraturan pemerintah yang tidak mendukung. Misalnya tidak ada pembatasan jumlah pemilik kendaraan bermotor. Akibatnya konsumsi BBM terus meningkat dengan laju sekitar 7% setahun. Diperkirakan, dalam 10 tahun konsumsinya bisa meningkat dua kali. Sementara itu, produksi minyak terus menurun karena sumber telah habis. Penemuan giant fields pun sudah jarang terjadi, baik untuk minyak bumi maupun gas alam.

Energi terbarukan

Atas semua kondisi itu, sangat rasional jika Nurhuda mengembangkan penelitian energi yang berasal dari proses alam yang berlangsung terus-menerus, seperti sinar matahari, angin, aliran air, panas bumi, serta proses biologi yang menghasilkan biomass dan biogas. Selain kompor biomass UB-03, ada juga tangki air panas berbasis selfrinsulating mechanism. Kata Nurhuda, bila diproduksi masif, pemanas air tenaga matahari itu akan lebih murah jika dibandingkan dengan pemanas air yang dijual di pasaran saat ini.

Dari segi ketersediaan, energi yang berkelanjutan itu juga tidak memerlukan perencanaan ke depan untuk menjamin keberlangsungannya. “Berbeda dengan energi nuklir, meskipun bersih, tidak termasuk dalam kategori sumber energi baru dan berkelanjutan mengingat cadangan uranium U239 yang sedikit dan semakin menipis di alam,” ujarnya.

Indonesia, lanjut Nurhuda, memiliki potensi energi terbarukan sebesar 311.232 Mw. Namun, sekitar 22% saja yang dimanfaatkan. “Masyarakat Indonesia terlena, bahkan cenderung lupa untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber energi alternatif yang dapat diperbarui,” tuturnya.(tokoh.id)

Share

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *