Apa Sih Intuisi ? – Sebuah studi menunjukkan bahwa orang-orang yang berada dalam jajaran puncak bisnis atau eksekutif memiliki skor lebih baik dalam tes eksperimen dari indra keenam dibandingkan dengan orang-orang biasa. Penelitian ini tampaknya menegaskan bahwa orang-orang sukses menerapkan kekuatan psi dalam kehidupan sehari-hari mereka, yang mendukung kesuksesan mereka. Salah satu bentuk kemampuan psi yang sering muncul adalah kemampuan intuisi. Tak jarang, intuisi yang menentukan keputusan mereka.
Sampai sekarang percaya bahwa intuisi yang baik dan tajam adalah syarat bahwa seseorang bisa sukses dalam hidup. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa banyak buku tentang tips sukses selalu menyertakan strategi mempertajam intuisi.
Intuisi dalam bahasa sederhana bisa diartikan getaran jantung (jiwa) akan menjadi sesuatu (Causalitas) menghadapi atau akan terjadi. sensasi atau mungkin bisa juga berarti “perasaan” dari sesuatu (yang) muncul atau terasa. Alasan (sehat) berpikir dan berbicara (suara) akan membuat hati / perasaan sehat (tenang) bgt sebaliknya.
Daftar Isi :
Definisi Intuisi
Intuisi, berdasarkan Webster Dictionary, adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan langsung atau wawasan langsung tanpa melalui observasi atau penalaran terlebih dulu. Menurut David G. Myers, penulis buku Intuition: Its Power and Perils [2002], pemikiran intuitif itu laiknya persepsi, sekelebat, dan tanpa usaha. Memang, psikolog sosial peraih Gordon Allport Prize ini secara jujur mengikuti pandangan Prof. Daniel Kahneman, Guru Besar Psikologi Princeton University. Pengalaman Kahneman, Pemenang Nobel Ekonomi 2002, dapat ditelusuri dari pernyataannya, “Kami mempelajari pelbagai macam intuisi, beragam pemikiran, dan preferensi yang mendatangi pikiran secara cepat tanpa banyak refleksi.”
Pengertian Intuisi
Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Tampaknya memahami tiba-tiba datang dari dunia lain dan keluar dari kesadaran. Misalnya, seseorang tiba-tiba dipaksa untuk membaca buku. Rupanya, dalam buku menemukan informasi yang dicarinya selama bertahun-tahun. Atau misalnya, merasa bahwa ia harus pergi ke suatu tempat, ternyata di sana ia menemukan penemuan besar yang mengubah hidupnya. Tapi tidak semua intuisi berasal dari kekuatan psi. Sebagian intuisi bisa dijelaskan sebab-akibat.
Gambaran diperolehnya kebenaran intuisi ini dapat diilusterasikan pada penjelasan berikut. Saat memilih pasangan seumur hidup, memilih jurusan kuliah atau bidang pekerjaan, menentukan partner bisnis, memutuskan sebuah kebijakan atau sikap politik, bahkan ketika memasang taruhan dalam sebuah permainan, di hadapan Anda tersedia paling tidak dua pilihan.
Sayang, tidak tersedia cukup waktu untuk melakukan analisis, berpikir logis apalagi kritis, sebab permainan harus segera dilanjutkan dan dadu sesaat lagi akan dilemparkan. Satu keputusan harus segera Anda tentukan. Tiba-tiba, Anda merasa memperoleh bisikan, ilham, wangsit, informasi laduni, atau apalah Anda menyebutnya. Kemudian, dengan begitu yakin dan penuh percaya diri, Anda segera menentukan satu pilihan. Dan, Anda berhasil menjadi pemenang.
Itulah salah satu cara kerja intuisi. Pelbagai data dan temuan dari beratus riset mutakhir di bidang psikologi dan riset otak telah menegaskan bahwa kecerdasan intuitif sesungguhnya bisa dimiliki oleh setiap orang dari berbagai kalangan. Melalui serangkaian argumen yang amat bernas disertai contoh-contoh lugas, tulisan David G. Myers di atas juga menunjukkan kekuatan, kelemahan, dan penerapan intuisi secara praktis untuk mencapai kesuksesan dalam beragam profesi: pejabat, pelaku ekonomi, psikiater, pendidik, pewawancara, bahkan penjudi dan paranormal sekalipun.
Kekuatan Intuisi
Menurut Niels Bohr, seorang fisikawan, “Ada kebenaran sepele, ada kebenaran agung. Kebalikan dari kebenaran yang sepele adalah keliru. Kebalikan dari kebenaran yang agung adalah benar”. Demikian juga halnya dengan intuisi manusia. Ia memiliki kekuatan-kekuatan, juga bahaya-bahaya yang mengejutkan. Di satu sisi, sains kognitif saat ini telah berhasil mengungkapkan pikiran tak sadar yang mempesonakan—pikiran lain yang tersembunyi—yang tidak pernah dikatakan Freud kepada kita. Lebih dari pada yang kita sadari selama lebih dari satu dasawarsa lalu, proses berpikir terjadi bukan on stage, tetapi off stage, tidak tampak.
Dalam diri manusia terdapat beberapa gejala yang dapat dijelaskan, semisal “pemrosesan otomatis”, “pendasaran subliminal [subliminal priming]”, “memori implisit”, “heuristik”, “inferensi sifat bawaan spontan”, pemrosesan otak kanan, emosi-emosi sesaat, komunikasi non-verbal, dan kreativitas telah membuka selubung kapasitas-kapasitas intuitif kita. Berpikir, memori, dan sikap-sikap seluruhnya berjalan pada dua tingkatan (sadar dan sengaja, tak sadar dan otomatis). Pemrosesan ganda [dual processing], demikianlah para peneliti sekarang menyebutnya.
Impuls-impuls syaraf berjalan lebih lambat satu juta kali dibandingkan pesan-pesan internal computer, meskipun otak kita melebihi computer dengan pengenalannya yang sangat cepat. “Anda bisa membeli sebuah mesin catur yang bisa mengalahkan seorang master”, ungkap seorang peneliti visi Donald Hoffman, “tetapi Anda tidak bisa membeli sebuah mesin visi yang sanggup mengalahkan visi seorang anak yang baru belajar berjalan”. Jika intuisi adalah pengenalan langsung, tanpa analisis ternalar, maka pencerapan adalah intuisi par excellence.
Dengan demikian, apakah intelegensia manusia lebih dari sekadar logika? Apakah berpikir lebih dari sekadar menata kata-kata? Apakah pemahaman lebih dari sekadar pengenalan yang sadar? Psikolog kognitif George Miller menjelaskan kebenaran ini dengan kisah mengenai dua orang penumpang yang bersandar pada jeruji kapal sambil memandang lautan. “Tentu saja ada banyak sekali air di lautan”, ujar salah seorang di antara mereka. ‘Ya’, temannya menjawab, ‘dan kita hanya melihat permukaannya saja”.
Persoalan yang dihadapi oleh manusia sangat kompleks. Tidak semua persoalan itu dapat diukur dengan penilaian secara matematik, dengan hitungan angka-angka atau parametrik. Albert Einstein, penemu bom atom pertama kali dalam dunia fisika, menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa, “Tidak semua hal yang bisa dihitung berjumlah, dan tidak semua hal berjumlah bisa dihitung.” Dari pernyataan Einstein ini tersirat adanya suatu kebenaran yang datangnya tidak dapat diprediksikan secara matematis, yaitu dengan hitungan secara pasti. Ini menunjukkan adanya alternatif sebuah sumber kebenaran yang dapat dilacak dari potensi-potensi yang ada dari kekuatan manusia sebagai anugerah Tuhan. Kekuatan ini lebih mengarah kepada bagaimana manusia mampu mengoptimalkan kekuatan potensial menjadi kekuatan aktual. Kekuatan aktual yang dapat diandalkan itu adalah intuisi.
Dalam Reith Lecture di BBC pada tahun 2000, Pangeran Charles mengangkat tema, Kearifan dari Hati. “Jauh di dalam lubuk hati kita masing-masing, berdiam sebuah kesadaran instingtif, kesadaran yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang menyediakan—jika kita mengizinkannya—bimbingan yang paling bisa diandalkan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan “Apakah tindakan-tindakan kita (atau bukan tindakan-tindakan kita) telah benar-benar sesuai dengan kepentingan jangka panjang planet bumi yang kini sama-sama kita huni dan seluruh kehidupan yang menopangnya?”
Kearifan, empati dan kasih sayang tidak memiliki tempat di dunia empirik. Tetapi, kearifan-kearifan tradisional akan mendesakkan pertanyaan kepada kita, “Tanpa semua itu apakah kita benar-benar bisa menjadi manusia yang sesungguhnya?” Kita seharusnya, ujar sang raja masa depan itu, “lebih banyak mendengarkan akal sehat [common sense] yang memancar dari hati nurani kita”.
Dengan mengandalkan intuisinya [pandangan khas seorang pascamodernis New Age] Pangeran Charles berhasil memiliki banyak perusahaan. Para sarjana, penulis populer dan para guru workshop dengan semangat terus melatih orang-orang untuk belajar mempercayai hati nurani mereka sekaligus mempercayai kepala [baca: otak] mereka.
Bahaya Intuisi
Intuisi bukan hanya panas, tetapi ia juga merupakan bagian besar dari pembuatan keputusan manusia. Akan tetapi, kebenaran komplementernya adalah bahwa intuisi seringkali keliru. Kesampingkanlah, untuk sesaat, pikiran rasional Anda dan alat-alat analitik yang melayaninya. Letakkanlah tongkat pengukur itu dan ambillah napas dalam-dalam, santaikanlah tubuh Anda, diamkanlah pikiran Anda yang kecanduan berbicara, dan dengarkanlah indera keenam Anda. Dengarkanlah nyanyian lembut yang ia tuturkan kepada Anda, secara langsung dan seketika.
Anda mungkin pernah menyaksikan sebagian efek-efek penglihatan, yang merupakan sebagian di antara lusinan ilusterasi mengenai bagaimana kebiasaan-kebiasaan otak dalam mencerap dunia—kebiasaan-kebiasaan yang pada umumnya memampukan intuisi yang tepat—kadang-kadang menuntut kita, sebagaimana bisa disaksikan oleh para pengemudi dan pilot yang terluka [tidak bisa disaksikan oleh mereka yang mati]. Banyak hal yang mungkin dengan cara tertentu tampak benar-benar berbeda. Apakah kesalahan-kesalahan intuisi ini hanya terbatas pada tipuan-tipuan penglihatan semata? Pertimbangkanlah beberapa pernyataan sederhana ini. Lagi-lagi, ikutilah nasehat kaum intuitif untuk mendiamkan pikiran otak kiri Anda yang linier dan logis, kemudian bukakanlah diri Anda untuk menerima bisikan-bisikan dan kearifan batin Anda.
Intuisi-intuisi kita bisa keliru. Karena secarik kertas memiliki ketebalan 0,1 milimeter, maka ketebalannya setelah dilipat 100, dengan masing-masing penggandaan dari ketebalan sebelumnya, menjadi 800 trilyun kali jarak antara bumi dan matahari. Sepanjang seluruh sejarah umat manusia, nenek moyang kita setiap hari melihat matahari melintasi langit. Ini setidaknya memiliki dua penjelasan yang masuk akal: a) matahari memutari bumi, atau b) bumi berputar sementara matahari tetap berada di tempatnya. Intuisi lebih menyukai yang pertama. Sementara observasi-observasi ilmiah Galileo menghendaki yang kedua.
Menurut David G. Myers [2002], psikologi yang dipelajarinya terkadang meneguhkan intuisi masyarakat. Sebuah pernikahan yang langgeng dan committed adalah kondusif bagi kebahagiaan orang tua dan perkembangan anak. Sementara itu, kemerdekaan dan perasaan-perasaan terkendali [feelings of control] yang dicerap adalah kondusif bagi kebahagiaan dan pencapaian. Tetapi, pada saat yang sama, intuisi-intuisi kita yang tanpa bantuan mungkin mengatakan kepada kita bahwa keakraban menumbuhsuburkan rasa jijik, bahwa mimpi-mimpi memprediksikan masa depan, dan bahwa swa-penghargaan yang tinggi selalu bermanfaat bagi gagasan-gagasan yang tidak didukung oleh bukti yang ada.
Bahkan California Task Force to Promote Self-Esteem mengakui dalam laporannya bahwa anggapan yang “tepat secara intuitif”—bahwa swa-penghargaan yang tinggi mengarah pada perilaku-perilaku yang dikehendaki—selama ini hanya sedikit mendapatkan dukungan. Adalah benar bahwa mereka yang memiliki harga diri tinggi lebih sedikit terkena risiko depresi, tetapi harga diri tinggi juga memiliki sisi gelapnya sendiri. Banyak kekerasan justeru berasal dari kebocoran ego-ego yang dilambungkan.
Berdasarkan paparan di atas, intuisi dapat dijadikan sebagai sumber salah satu kebenaran yang sifatnya emergence. Hal ini karena intuisi dapat muncul di saat manusia dalam kondisi terpepet karena waktu sementara itu, ia harus memutuskan sesuatu yang sedang dipikirkan. Tentunya, kebenaran intuisi adalah kebenaran yang bersifat tentatif dan relatif, bukan sebagai kebenaran absolute seperti wahyu yang diyakini oleh orang yang beragama. Dalam realitasnya, intuisi memiliki kekuatan sekaligus kelemahan yang secara praktis dapat dilihat dan diamati dalam kehidupan empiris.
Tokoh-Tokoh Aliran Intuisi
- Henri Bergson
Henri Bergson (1859-1941), seorang filsuf Perancis, mengatakan bahwa intelek dan intuisi adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. Prinsip-prinsip sains dimasukan dalam kategori intelek dan prinsip-prinsip metafisika merupakan intuisi. Sains dan filsafat dapat disatukan dan akan menghasilkan pengetahuan yang intelektual dan intuitif. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua persepsi realitas yang berbeda.
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harafiah. Intuisi harus dilihat sebagai sesuatu yang bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan kesadaran spontan.
Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri manusia. Bergson mau mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Manusia dapat menemukan kepribadiannya dengan berjalannya waktu, dan proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Dengan intuisi, manusia akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu continu dan tak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas.
Pandangan semacam ini sebenarnya ingin mengkritik pandangan para filsuf terdahulu yang segalanya direfleksikan secara rasional. Dengan melihat hal ini, Bergson berusaha melengkapinya dengan metafisika yang selalu menghadirkan fakta konkrit dari gerakan. Maka dengan metafisika menurut Bergson, kenyataan itu berjalan, sedangkan yang selalu diberikan intelek hanyalah penampilan. Realitas itu disadari secara intuitif dan tidak terpotong-potong. Dengan begitu konsep-konsep intelek tidaklah bisa menjawab realitas secara menyeluruh.
- Imam Ghazali
Ilmu adalah penerang (cahaya) agar bisa mengantarkan manusia ke tujuan esensialnya. Dan ilmu diperoleh melalui alat atau sarana yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Kuncinya ada pada kata perintah iqro, yaitu perintah untuk membaca. Dan salah satu yang harus dibaca adalah subjek (atau pelaku) yang mengerjakan amal atau tindakan tertentu.
Dalam upaya memperoleh ilmu, manusia menduduki posisi utama tidak hanya sebagai subjek tetapi juga objek ilmu. Manusia sebagai objek ilmu artinya ialah meneliti kerangka kerja ilmiah yang dihasilkan manusia; dalam posisi ini manusia me-mashdar-kan kerja (amal) yang dilakukannya sehingga bisa ditelusuri potensi-potensi dalam diri manusia yang bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan ilmu. Upaya ini sekaligus bisa mempertahankan objektivitas ilmu itu sendiri.
Dalam berbagai disiplin ilmu, sekalipun dalam sains modern disadari bahwa, mengetahui potensi-potensi dalam diri manusia sebagai sarana memperoleh ilmu adalah penting dalam upaya mempertahankan objektivitas ilmu itu sendiri. Potensi-potensi dan alat dalam diri manusia yang capable dijadikan sarana mendapatkan ilmu menurut Imam Ghazali dalam berbagai kitabnya ada tiga : 1) Panca Indera, 2) Akal, dan 3) Intuisi.
Panca Indera
Panca indera (hawaasul khamsi) yang terdiri dari indera penglihat (mata), indera pendengar (telinga), indera perasa (lidah), indera pencium (hidung), dan indera peraba (kulit), merupakan sarana penangkap ilmu paling awal yang muncul dalam diri manusia. Semua maojud yang ditemukan oleh hissi ini yang disebut mahsuusaat serta temuan-temuan empiris yang disebut mujarrobaat termasuk dua dari lima pengetahuan a priori (daruri).
Namun temuan hissi memiliki batasan ketika hendak mengungkap maojud yang tidak occupying space, seperti monad-monad (units) yang tidak menempati ruang dan tidak tersentuh (misalnya titik geometris dan elemen untuk ruang; temporal instant dan transisi kinetis untuk waktu dan gerak). Ketika misalnya hendak mengungkap interdependensi ruang-waktu, atau ketika menelaah ketersambungan cause dan effect dalam ruang-waktu tersebut, maka monad-monad tersebut mutlak harus ada. Karena itu, hukum-hukum yang kemudian ditetapkan berdasarkan temuan hissi ini yang disebut hukum kausalitas (hukum ‘adat) harus diuji tidak hanya secara empiris (untuk kepentingan praktis saja) tetapi juga secara metafisis dengan melibatkan dalil-dalil akal melalui ilmu logika (mantiq).
Maojud yang bukan objek hissi ialah maojud yang tidak kena oleh sentuhan dan jarak spasial tetapi ketersambungannya dapat diketahui oleh ilmu logika (mantiq). Maka dalam masalah-masalah metafisika, misalnya konsep discrete dan continue, finite dan infinite, monad, form; mengenai hakikat (esensi) semua maojud, bila kesimpulan hissi menyalahi kesimpulan akal, maka akal yang harus didahulukan.
Bahkan dalam masalah-masalah metafisis seperti ini akal perlu sebisa mungkin membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh hissi. Jika tidak demikian maka akan terjadi pengaburan akurasi, dan yang ditemukan bukan lagi objek hissi yang a priori (daruri) melainkan seperti fatamorgana di tanah yang datar (ka saroobin bi qii’ah) yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi setelah didatangi air tersebut ternyata tidak ada. Kekaburan akurasi inilah yang disebut dengan “waswas” (keraguan-absolut destruktif) yang merusak jiwa manusia, dan termasuk sifat yang dikehendaki oleh setan ada di dalam diri manusia. Sedangkan akal adalah petunjuk yang meluruskan dan menajamkan akurasi dari kekaburan hissi ini.
Akal
Para ahli bahasa pada umumnya sepakat bahwa akal (‘aql) berasal dari kata ‘iqaal yang berarti tali pengikat yang kuat, dan ma’qool yang berarti sesuatu yang berbenteng kuat di puncak gunung yang tak terjangkau oleh tangan manusia karena kokoh dan kuatnya. Penamaan daya kemampuan ini dengan akal (‘aql) menunjukan urgensi potensialitas dan kapabilitasnya sendiri. Dalam Misykaat al-Anwaar, Imam Ghazali meyakinkan bahwa potensi akal cukup capable untuk menangkap bukan saja objek yang terbatas (finite), tetapi juga yang tak terbatas (infinite). Maojudnya meliputi yang discrete maupun yang continue, finitely divisible maupun yang infinitely divisible. Bahkan dalam Ihya al-‘Ulumuddin Al-Ghazali menyediakan satu bab khusus untuk membicarakan keluhuran dan kemuliaan akal, jenis-jenisnya serta sifat, fungsi dan kapabilitasnya.
Dalam arti metafisis akal identik dengan atau bertempat di hati (qalbu) yaitu sebagai sinar lathiif atau sirr ruhani, sebagai inti hakikat manusia. Dalam arti ini akal gharizi siap menerima ilmu-ilmu a priori (daruri) yang kebenarannya aksiomatis dan jelas (badihi) dan siap menerima ilmu-ilmu inferensial/a posteriori (nadzori), yang keduanya merupakan nafsul ‘uluum (jiwa atau semangat ilmu), dan menduduki posisi yang sangat penting dalam perkembangan kedewasaan manusia, dan merupakan batas utama manusia masuk ke gerbang mukallaf (yang tertaklif hukum).
Ketajaman dan akurasi akal adakalanya terkaburkan oleh pengaruh daya imajinasi (khayal) dan daya estimasi (wahm) yang dinisbatkan dengan pengalaman hissi. Maka akal ini laksana cermin yang apabila ia bersih dan murni maka ia bisa merefleksikan objek sebagaimana realitasnya. Kalaupun pemikiran seseorang salah, kesalahan bukan terletak pada akalnya, tetapi karena ia dikuasai oleh khayal dan wahm, kecuali apabila akalnya cacat (tidak berakal).
Maka untuk menjamin cara berpikir dan proses penalaran yang sah sehingga bisa sampai kepada bentuk akal ini diperlukan sarana yang dapat meluruskan dan menjaga kemurniannya, yaitu melalui logika (mantiq). Di sinilah peran penting ilmu logika sebagai mukadimah ilmu-ilmu seluruhnya, dan sebagai neraca dan timbangan yang lurus (al-Qisthos al-Mustaqiim). Dan orang yang tidak menguasai ilmu logika, menurut Al-Ghazali, ia pada dasarnya belum mempercayai kebenaran ilmu yang dimilkinya. Anna man laa ma’rifata lahuu bi al-mantiqi, laa yuu tsaqu bi ‘ilmihii. (Al-Mustashfa, jld I, hlm. 10)
Intuisi
Beberapa kitab yang ditulis Al-Ghazali menyinggung seperlunya mengenai potensi intuisi ini, dan ia tidak membahasnya dalam potensi tersendiri, kecuali misalnya dalam kitab Misykaat al-Anwaar yang menyebut potensi lain di atas akal, yaitu ruh quds nabawi yang dimiliki oleh para nabi dan wali, yang memiliki daya kemampuan menangkap maojud di luar tangkapan akal, atau yang disebut maojud transendental. Ahli tafsir dan ulama kontemporer, M. Quraish Shihab, menisbatkan objek (di dalam bukunya), Yang Tersembunyi, dengan mulai menelaah ulasan Al-Ghazali dalam Misykat di atas, seperti keberadaan makhluk-makhluk ghaib seperti iblis, jin dan malaikat.
Di lain kitab Al-Ghazali, dalam al-Munqidz min adl-Dlolaal, diintroduksikan istilah zauq yang searti dengan wijdaan yang sering diartikan dengan intuisi. Saeful Anwar (2007) dalam bukunya Filsafat Ilmu Al-Ghazali, yang menjadi rujukan penulis dalam membaca karya-karya Al-Ghazali, lebih jauh lagi dan secara panjang lebar mengelaborasi potensi intuisi ini dan memasukkannya ke dalam metodologi pencapaian ilmu yaqini multilevel (multifase), yakni metodologi penyingkapan intuitif (kasyfi) pada tahap kedelapan dan kesembilan dalam “Sistem Sembilan Tahap” yang diturunkan dari epistemologi filsafat ilmu Al-Ghazali. Ia menjelaskan urgensinya dalam epistemologi ilmu setelah panjang lebar membahas peranan panca indera dan akal dalam pencapaian ilmu.
Apa yang ditekankan Al-Ghazali adalah yang ditulis dalam kitabnya, Maqaashid al- Asnaa, bahwa apa yang tersingkap oleh kasyfi intuitif hendaklah tetap dikontrol oleh akal, sehingga semua klaim tentang hal kasyfi yang irasional, hanyalah kepalsuan belaka, dan bahwa syari’at tidak gugur dengan haqiqat melainkan terintegrasi. Dan bahwa kewalian adalah permulan kenabian.
Bagi yang wushul, yang telah mencapai tahap kasyfi, hendaklah ia menghindarkan dari dari keinginan untuk fana, dan tetap berada dalam koridor sebagaimana manusia sewajarnya. Tidak ada alasan untuk menggurkan syari’at, karena yang menggugurkan taklif syara sekalipun keluar dari yang mengkalim dirinya telah wushul hanyalah ambisi kemewahan semata, dan dorongan syahwat yang menunjukan karakter rendah. Maka tandingilah keinginan itu dengan upaya untuk berbuat kebaikan yang seluas-luasnya bagi umat manusia dengan berpijak pada prinsip ikhlas.
Apa yang luput dari Al-Ghazali, dan mungkin juga secara substansial tidak muncul dalam telaah terhadap karya-karya Al-Ghazali, ialah mengenai potensi dan kapabilitas intuisi fisis (physical intuition), sehingga intuisi ini terbagi dua yaitu intuisi fisis dan intuisi transendental.
Yang dapat kita pahami dari intuisi fisis ini dapat memberikan perumpamaan untuk bisa memahami intuisi transendental. Intuisi fisis ialah intuisi yang dapat mengidrok objek-objek fisis (maojuud hissi) sekalipun indera tidak menjangkaunya, sehingga laporannya tentang dunia hissi sampai ke akal. Sekalipun orang buta atau tuli secara dzohir tidak mampu menangkap objek fisis karena keterbatasannya, tetapi ia tetap memiliki intuisi tentang dunia fisis, seperti adanya gerak, adanya suara, adanya warna, yang informasi demikian ini sangat vital bagi akal, namun tidak sedetail apa yang dapat ditangkap oleh indera dan akal.
Bagi akal tidak ada bedanya, baik bagi orang buta (termasuk buta warna) atau pun yang tidak buta, tetap tidak menggeser akurasi akal. Maka celakalah orang yang membeda-bedakan antara orang yang cacat (terbatas) inderanya dengan yang tidak, karena Alloh sendiri tidak membeda-bedakannya.
Intuisi fisis bisa jadi pula apa yang disebut oleh Al-Ghazali ruh khayaali-aqli dalam Misykaat al-Anwaar. Intuisi fisis ini layaknya intuisi transendental, ia diumpamakan seperti lubang cahaya penglihatan yang tak tembus oleh indera, sekalipun kita tidak mampu menjangkau dan tidak dapat menjelajahi luasnya, tetapi kita bisa mengetahui akan maojudnya. Namun keduanya berbeda wilayahnya, intuisi fisis di wilayah dunia fisis yang tak terjangkau indera, dan intuisi transendental di wilayah metafisis yang tak terjangkau akal.
Hal – Hal Terpenting Intuisi
- Intuisi harus terus di kernbangkan, kita semua memiliki kemampuan yang intuisi intuitif unik adalah salah satu potensi yang kita miliki dan harus disengaja di kernbangkan.
- Intuisi dan alasan logis adalah dua hal saling melengkapi, kombinasi alasan, pengalaman, informasi, dan intuisi mengemudi dan kekuatan yang kuat.
- Intuisi bukanlah intuisis emosional tuntutan yang jelas memperhatikan berbagai pilihan.
- Intuisi tindakan permintaan untuk mengikuti dan melakukan apa Yangdi perasaan, intuisi adalah kunci sukses dalam berbagai bidang, termasuk dalam urusan bisnis, tapi di sini dalam prakteknya perlu tahu lebih dalam intuisi.
- Dengan Intuisi akan bebas dari kesalahan, jika intuisi diseitai alasan logis.
Cara Mempertajam Intuisi
Latihan Relaksasi
Intuisi dapat melemah, bahkan jika kita kehilangan dalam kondisi stres yang berlebihan atau kecemasan. Untuk itu, setiap kali ingin mengambil keputusan, hal pertama yang harus dilakukan adalah bersantai.
- Dalam keadaan santai ini, kita bisa mendengar lebih jelas intuisi karena dalam kondisi ini otak dalam gelombang alpha yang mengaktifkan fungsi otak kanan.
- Salah satu cara yang efektif untuk relaksasi adalah untuk merasakan napas atau meditasi.
- Lakukan setidaknya 1 jam di pagi hari setelah bangun (antara jam 4-7 pagi) dan 1 jam sebelum tidur (antara 9-11 jam malam) atau lebih dari 2 jam di pagi hari.
Untuk Menjadi Spontan
Ketika bingung memilih atau membuat keputusan, menenangkan pikiran dan mendengarkan jawaban pertama yang datang ke pikiran. Demikian pula, ketika bertemu seseorang, kita bisa ‘merasakan’ apakah orang tersebut mampu bekerja sama atau tidak, melalui kesan pertama. Penilaian spontan biasanya akan lebih jujur karena berasal dari hati nurani (intuisi).
Menyadari Perasaan
Intuisi juga dapat ditangkap melalui perasaan atau emosi. Ketika merasa curiga pasangan, biasanya kita cepat menghilang perasaan itu, mungkin ini hanya perasaan saya saja. Justru mem-blocking intuisi. Bisa jadi suami tidak curang, tapi jelas ada rasa ketidakpercayaan atau rasa tidak aman dalam diri sehingga muncul kecurigaan bahwa. Ini adalah pesan nyata yang ingin disampaikan oleh intuisi bahwa lebih menyadari hubungan dan dapat menangani sebelum situasi menjadi lebih buruk.
Sensitif Terhadap Sinyal Tubuh
Tubuh kita adalah utusan kuat. Ketika sakit, intuisi benar-benar ingin mengatakan bahwa perawatan beristirahat dan lebih baik untuk diri mereka sendiri. Atau kadang-kadang ketika merasa tubuh menjadi sangat berat, itu adalah salah satu tanda mengambil keputusan yang salah. Sebaliknya, tubuh Anda akan sinyal rasa nyaman, jika Anda mengambil langkah yang tepat.
Sabar Dan Konsisten
Bahkan sudah rajin bermeditasi, mencatat semua petunjuk, jangan kecewa jika belum menerima instruksi yang jelas. Bersabar dan mencoba untuk mencari penguatan melalui saluran intuisi lain, sampai akhirnya menemukan kemantapan hati untuk mengambil keputusan. (dosenpendidikan.co.id)
Info ruanglab lainnya: