Novalia Pishesha, Peneliti Harvard Asal RI Ciptakan Obat Autoimun

Novalia Pishesha, Peneliti Harvard Asal RI Ciptakan Obat Autoimun – Publik Tanah Air patut berbangga karena salah satu warganya berhasil menorehkan prestasi di kancah internasional setelah berhasil menemukan teknologi pengobatan untuk penyakit autoimun.

Novalia Pishesha, seorang Junior Fellow (Peneliti Junior) di Society of Fellows, Harvard University, Amerika Serikat, yang merupakan perempuan asal Singosari, Malang, Jawa Timur ini berhasil mengembangkan teknologi nanobodi untuk mengobati penyakit autoimun yang efikasinya diklaim mencapai 100 persen dalam pengujian laboratorium.

Motivasi Nova, panggilan akrab Novalia, berawal dari janji menemukan pengobatan untuk bibinya yang mengidap penyakit lupus, hingga mengantarkan perjalanan Novalia Pishesha selama 15 tahun di Amerika Serikat. 

Pengembangan karier akademis Novalia mempelajari teknologi rekayasa hayati (bioengineering) dimulai di City College of San Francisco (CCSF), California, dengan tekad untuk menemukan pengobatan yang tepat pada penyakit autoimun.

“Saya berjanji kepada bibi saya menemukan pengobatan yang efektif,” ungkap Novalia dalam wawancaranya dengan majalah Tempo, Rabu (20/4/2022) lalu.

Untuk diketahui, penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem imunitas atau kekebalan tubuh menyerang tubuh sendiri. Pada pengidapnya, sistem kekebalan tubuh akan menyerang sel, jaringan, dan organ yang sehat karena kehilangan kemampuan membedakan substansi asing yang menjadi ancaman dengan sel yang sehat.

Daftar Isi :

Keunggulan nanobodi

Teknologi nanobodi yang dikembangkan Nova memiliki target untuk mematikan respons imun tertentu di dalam tubuh penderita.

Hal itu sekaligus menjadi keunggulan teknologi nanobodi dibandingkan dengan pengobatan penyakit autoimun pada umumnya, di mana biasanya dilakukan penonaktifan sel-sel imun dalam tubuh secara keseluruhan. Penonaktifan secara menyeluruh tersebut menyebabkan tubuh menjadi tidak punya pertahanan ketika terserang infeksi.

“Kemungkinan meninggal karena infeksi cukup besar,” ujar Nova.

Adapun teknologi nanobodi, Nova mengklaim, dapat menargetkan secara spesifik protein dalam sel penyaji antigen (APC) yang dinamai protein MHC class-I, sehinga bisa mematikan respons imun tertentu. Contohnya dalam kasus sklerosis ganda, jenis penyakit autoimun yang menyerang otak, respons imun yang dimatikan hanya yang menyerang otak.

“Tujuannya agar masih bisa melawan penyakit infeksi seperti Covid-19,” ungkap Nova, yang pernah mendapatkan penghargaan Broad’s Excellence and Achievement Awards for Extraordinary Work Related to the COVID-19 Pandemic dari Boston University, Amerika Serikat, pada 2020 lalu.

Menurut Nova, teknologi nanobodi bekerja baik dalam uji laboratorium menggunakan tikus. Dirinya bahkan mengklaim efikasinya hingga 100 persen.

Dirinya pun optimis bahwa nantinya semua penyakit autoimun, mulai dari lupus, rematik, diabetes tipe 1, hingga sklerosis ganda, akan dapat disembuhkan.

Sebagai informasi, pengobatan penyakit autoimun saat ini umumnya menggunakan anti-inflamasi dan imunosupresif, obat yang menekan atau mengurangi kekuatan sister imun, namun efek sampingnya cukup banyak.

Selain itu, ada pengobatan lain menggunakan antibodi monoklonal yang bekerja secara spesiflk menetralkan protein yang sifatnya berlebihan di set organ. Namun, biaya pengobatan dengan cara ini masih sangat mahal.

Dengan harga yang terjangkau dan cara kerjanya yang secara spesifik menargetkan respons imun tertentu, teknologi nanobodi yang dikembangkan Nova dipercaya akan dapat menjadi terobosan mutakhir untuk pengobatan penyakit autoimun.

Novalia Pishesha bersama Thibault Harmand (kiri) dan Rhogerry Deshycka di Lab Central, Cambridge, Massachuseyts, Amerika Serikat. Foto: Rhogerry Deshycka

Tentang Novalia

Nova remaja menyelesaikan sekolah menengah atas di Singosari, Malang, hingga kemudian sempat mencicipi status sebagai mahasiswa kedokteran di sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur, meski hanya bertahan selama empat bulan.

“Tapi saya merasa kuliah di sana tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Saya ingin lebih banyak melakukan riset, menemukan sesuatu,” kata peraih Noul Co Ltd Young Scientist Award Korea Selatan 2022 tersebut.

Berbekal tekadnya untuk mendalami bidang bioteknologi dan bioengineering, Nova pun melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat, negara yang memiliki keunggulan pada kedua bidang tersebut.

Nova bercerita, ia datang dari orang tua yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan salah satu orang tuanya hanyalah lulusan sekolah dasar. Karena itulah, dirinya tidak menyia-nyiakan kesempatannya untuk menempuh pendidikan di Amerika Serikat.

Untuk bertahan hidup di perantauan, Nova harus bekerja keras sebagai tenaga laboratorium dan juga tutor selama hampir 24 jam seminggu penuh.

“Saya bekerja sebagai tutor hampir 24 jam seminggu dan juga menjadi laboran,” tutur Nova.

Sedangkan untuk membiayai kuliah, Nova mengandalkan berbagai macam beasiswa yang diraihnya. Berkat kerja keras dan kegigihannya, ia pun berhasil lulus dari CCSF dua tahun kemudian, pada 2009, dengan nilai sempurna.

Melanjutkan pendidikan di MIT

Mengenal Novalia Pishesha, Pelopor Vaksin Covid-19 yang Mudah Diproduksi di  Indonesia - Tribunnews.com Mobile
Foto: Tribun

Usai menyelesaikan kuliahnya di CCSF, Nova mendapatkan beasiswa pendidikan kesarjanaan di Department of Bioengineering University of California, Berkeley, Amerika Serikat.

Di sana ia banyak terlibat dalam penelitian ilmiah yang berkaitan dengan sel punca. Setahun setelah lulus dari University of California, ia mengambil program doktoral di Department of Biological Engineering Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat.

Di MIT, Nova mulai berfokus mengkaji teknik rekayasa sel darah merah untuk dikembangkan dalam pengobatan penyakit autoimun. Ia memodifikasi struktur sel darah merah dengan antigen yang dapat mempengaruhi toleransi sistem imun.

Penelitiannya tersebut menjadi dasar bagi pengoperasian perusahaan startup bioteknologi Rubius Therapeutics yang baru saja masuk bursa saham Amerika Serikat tahun ini.

Nova bercerita, kelahiran Rubius bermula dari perusahaan venture capital yang tertarik mendanai proyek-proyeknya yang berbasis rekayasa sel darah merah.

“Mereka mendekati profesor saya sehingga proyek-proyek itu dilisensikan keluar dari ruang akademis. Jadi bukan saya yang membangun perusahaan secara mandiri,” jelas perempuan yang masuk Innovators Under 35 Asia Pacific 2021 dari MIT Technology Review itu.

DI MIT pula Nova mengembangkan penelitian berbasis nanobodi-antibodi dari alpaka (Huacaya alpaca), mamalia dari Amerika Selatan yang menyerupai llama. la mengibaratkan nanobodi sebagai akses keluar-masuk informasi dalam sel. Yang ia lakukan adalah membajak jalan tersebut guna mengirim informasi yang efisien untuk mematikan atau meredam respons imun secara spesifik.

Berbekal keberhasilannya mengembangkan pengobatan dosis tunggal dalam penggunaan teknik rekayasa sel darah merah, Nova berupaya melakukan hal yang sama dengan nanobodi.

“Saya berpikir untuk mengembangkan dosis tunggal yang murah dan mudah dimanufaktur,” ucap Nova.

Menurut Nova, terapi sel akan sulit dilakukan di Indonesia, karena menyangkut pengembangan manufaktur dan juga harganya yang tak dapat dijangkau semua kalangan.

Nova bercita-cita teknologinya ini dapat dikembangkan di negara berkembang di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.

“Karena penderita autoimun ada di hampir semua negara,” katanya.

Mendirikan Cerberus Therapeutics

Novalia Pishesha menunjukkan logo Cerberus Therapeutics, di Lab Central, Massachusetts, Amerika Serikat. Foto: Rhogerry Deshycka

Bermodal koneksinya dengan Rubius Therapeutics, Nova kemudian mendirikan perusahaan Cerberus Therapeutics bersama seluruh timnya yang terlibat dalam riset, dan saat ini menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO).

Terlihat dari akun Twitter pribadinya, Nova saat ini tengah merekrut peneliti-peneliti terbaik untuk dapat terlibat mengembangkan perusahaannya, Cerberus Therapeutics.

“Kami ingin teknologi ini lebih dekat dengan klinik-klinik secepatnya,” ujar Nova.

Selain itu, tujuan Nova membangun Cerberus Therapeutics ini juga agar teknologi-teknologi pengobatan lebih mudah mendapatkan pembiayaan, mudah membangun fasilitas manufaktur, hingga dapat membawa teknologi pengobatan ke publik yang lebih luas.

Temukan kandidat vaksin Covid-19

Teknologi nanobodi yang dikembangkan oleh Nova ternyata juga mengantarkannya dalam penemuan kandidat vaksin Covid-19 tahun 2021 lalu.

Nova dan koleganya menerbitkan jurnal ilmiah tentang kandidat vaksin Covid-19 berbasis protein, yang menyasar langsung sel-sel penyaji antigen (antigen-presenting cells/APCs), yang diterbitkan dalam jurnal PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America).

Ia beserta timnya menguji vaksin tersebut terhadap tikus muda dan tua. Hasilnya, metode itu mampu memicu kekebalan tubuh tikus terhadap SARS-CoV-2 – virus penyebab Covid-19 – dan variannya.

Novalia Pishesha, WNI Peneliti di AS, Temukan Vaksin Covid-19 yang Mudah  Diproduksi di Indonesia Halaman all - Kompas.com
Foto: Kompas

“Kandidat vaksin ini 100 persen efektif, karena semua tikus – jika Anda lihat datanya – terlindungi,” ujar Nova di kantornya, di Boston Children’s Hospital, Massachusetts, saat diwawancarai VOA melalui Skype (20/10/2021).

Kandidat vaksin ini disebut akan lebih murah dan mudah untuk diproduksi, serta lebih gampang untuk didistribusikan, karena tidak perlu lemari ekstra dingin untuk penyimpanannya.

Temuan Nova ini juga sudah sampai di telinga pemerintah Indonesia. Dalam kunjungan ke AS awal Oktober lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bertemu dengan Nova. Namun, hingga saat ini belum ada keterangan lebih jauh tentang rencana pemerintah dalam menanggapi penemuan kandidat vaksin Covid-19 oleh Nova dan timnya. (teknologi.id)

Info ruanglab lainnya:

Share

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *